Beranda | Artikel
Keutamaan Sahabat Nabi
Selasa, 11 Desember 2012

KEUTAMAAN SAHABAT NABI

Oleh
Ustadz Abu Ihsan al-Atsari

SIAPAKAH YANG BOLEH DISEBUT SAHABAT NABI?
Ibnu Fâris rahimahullah, seorang ahli bahasa, menjelaskan dalam Mu’jamu Maqâyisil-Lughah (III/335) pasal Sha-ha-ba, mengatakan: “(Himpunan tiga huruf itu) menunjukkan penyertaan sesuatu dan kedekatannya dengan seseorang yang bersamanya. Bentuk jamaknya ialah shuhhâb sebagaimana kata râkib bentuk jamaknya rukkâb. Sama seperti kalimat أَصْحَبَ فُلاَنٌ (‘ashhaba fulân), artinya menjadi tunduk’. Dan kalimat ‘ashhabar rajulu, artinya jika anaknya telah berusia baligh’, dan segala sesuatu yang menyertai sesuatu maka boleh dikatakan telah menjadi sahabatnya”.

Dalam Mu’jamul-Wasîth (I/507) disebutkan, “Shâhabahu, ialah râfaqahu (menemaninya), istashhaba syai’an artinya lâzamahu (menyertainya). Ash-Shâhib, ialah al-murâfiq (teman), pemilik sesuatu, pelaksana suatu pekerjaan. Dipakai juga untuk orang yang menganut sebuah madzhab atau pendapat tertentu.

الصَّحَابِيُّ (ash-Shahâbi) ialah orang yang bertemu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beriman kepadanya, dan meninggal (wafat) dalam keadaan muslim.

Dalam kitab al-Ifshâh fil-Lughah, halaman 708 disebutkan: “Ash-shuhbah, artinya الْمُعَاشَرَةُ (al-mu’âsyarah, pergaulan)”.

Tidak ada penjelasan dari pakar bahasa yang mensyaratkan penyertaan tersebut harus dalam jangka waktu tertentu atau menyebutkan batasan tertentu selain penyertaan secara mutlak, untuk jangka waktu yang lama maupun singkat. Oleh sebab itu, Ibnu Fâris t menyebutkan bahwa asal kata ash-shuhbah, maknanya penyertaan dan kedekatan.

Ibnu Taimiyyah t mengatakan dalam Majmu’ Fatâwâ (IV/464):
الصُّحْبَة Shuhbah ialah istilah yang digunakan untuk orang-orang yang menyertai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam jangka waktu yang lama maupun singkat. Akan tetapi, kedudukan setiap sahabat ditentukan oleh jangka waktu ia menyertai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Ada yang menyertai beliau setahun, sebulan, sehari, sesaat, atau melihat beliau sekilas lalu beriman. Derajat masing-masing ditentukan sesuai jangka waktunya dalam menyertai Rasulullah”.

Imam Ahmad rahimahullah berkata: “Siapa saja yang menyertai Rasulullah setahun, sebulan, sehari, atau sesaat, atau melihat beliau, maka ia termasuk sahabat Nabi. Derajat masing-masing ditentukan menurut jangka waktunya menyertai Rasulullah”.[1]

Imam al-Bukhâri mengatakan dalam kitab Shahîh-nya (II/5): “Siapa saja dari kalangan kaum muslimin, yang pernah menyertai dan melihat Rasulullah, maka ia terhitung sahabat nabi”.

Abu Muhammad bin Hazm rahimahullah dalam al-Ihkâm (V/89) berkata: “(Yang disebut) sahabat, ialah semua orang yang telah duduk bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meski hanya sesaat dan mendengar perkataan beliau meski hanya satu kalimat atau lebih, atau menyaksikan beliau secara langsung dan tidak termasuk kaum munafik yang sudah dikenal kemunafikannya dan mati dalam keadaan munafik. Dan tidak termasuk orang-orang yang diusir oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena alasan yang patut, misalnya kaum banci dan orang-orang semacam itu. Siapa saja yang telah memenuhi kriteria tersebutm, maka ia berhak disebut sahabat. Semua sahabat termasuk (sebagai) imam panutan, insan utama dan diridhai. Kita wajib menghormati mereka, mengagungkan mereka, memohon ampunan bagi mereka dan mencintai mereka. Sebiji kurma yang mereka sedekahkan lebih utama daripada seluruh harta yang disedekahkan oleh selain mereka. Kedudukan mereka di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih utama daripada ibadah kita seumur hidup; baik yang masih kanak-kanak maupun yang sudah baligh. An-Nu’mân bin Basyîr, ‘Abdullah bin az-Zubair, al-Hasan dan al-Hushain bin ‘Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhum masih berusia sekitar sepuluh tahun ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat. Adapun al-Hushain, ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat ia masih berusia enam tahun. Mahmûd bin ar-Rabî’ berusia lima tahun ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, ia masih ingat semburan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke wajahnya dengan air yang diambil dari sumur mereka. Mereka semua termasuk sahabat terbaik, riwayat-riwayat mereka dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diterima sepenuhnya, baik dari kalangan pria, wanita, budak maupun orang merdeka”.

Walaupun diselingi dengan kemurtadan, kemudian kembali kepada Islam, ia tetap disebut sahabat. Ibnu Hazm rahimahullah melanjutkan penjelasannya dalam kitab yang sama: “Adapun yang murtad dari Islam sepeninggal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , atau setelah ia bertemu beliau kemudian kembali masuk Islam dan bagus keislamannya, seperti al-‘Asyats bin Qais, ‘Amru bin Ma’dikarib dan selainnya, maka tanpa diragukan lagi, mereka masih termasuk sahabat, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

أَسْلَمْتَ عَلَى مَا سَلَفَ لَكَ مِنْ خَيْرٍ

(engkau telah masuk Islam dengan membawa kebaikan yang dahulu engkau kerjakan)

Mereka semua shalih, memiliki keutamaan dan termasuk penduduk surga.”

NASH-NASH YANG MENJELASKAN KEUTAMAAN SAHABAT NABI
Keutamaan sahabat Nabi, serta tingginya kedudukan dan derajat mereka merupakan perkara yang sudah dimaklumi oleh semua kalangan. Terdapat banyak dalil, baik dari Al-Qur’ân maupun Sunnah yang menerangkannya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya: Muhammad itu adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka; kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda meraka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injîl; yaitu seperti tanaman mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya, karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih di antara mereka ampunan dan pahala yang besar. [al-Fath/48 ayat 29].

Ayat ini mencakup seluruh sahabat Nabi Radhiyallahu anhum, karena mereka seluruhnya hidup bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Sementara itu, hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyebutkan keutamaan para sahabat tidak sedikit. Dalam kitab Shahîhain, al-Bukhâri dan Muslim diriwayatkan dari hadits ‘Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ يَجِيءُ قَوْمٌ تَسْبِقُ شَهَادَةُ أَحَدِهِمْ يَمِينَهُ وَيَمِينُهُ شَهَادَتَهُ

Sebaik-baik manusia ialah pada zamanku, kemudian zaman berikutnya, dan kemudian zaman berikutnya. Lalu akan datang suatu kaum yang persaksiannya mendahului sumpah, dan sumpahnya mendahului persaksian.[2]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan, mereka ialah sebaik-baik manusia. Akan tetapi, musuh-musuh Allah Subhanahu wa Ta’ala tetap mencela sebaik-baik manusia yang telah dipuji oleh sebaik-baik hamba yang tidak berucap dengan hawa nafsu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan, kurun beliau dan kurun para sahabatnya ialah sebaik-baik kurun secara mutlak. Tidak ada kurun yang lebih baik daripada kurun mereka. Barang siapa mengatakan selain itu, maka ia termasuk zindîq (orang sesat).

Dalam hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata: “Seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : ‘Siapakah sebaik-baik manusia?’ Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘(Yaitu) kurun, yang aku hidup saat ini, kemudian kurun berikutnya, kemudian kurun berikutnya’.”[3]

Abu Burdah meriwayatkan dari ayahnya, bahwasanya ia berkata: Kami mengerjakan shalat Maghrib bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Selepas shalat, kami berkata: “Bagaimana kalau kita duduk menunggu untuk mengerjakan ‘Isyâ bersama beliau?” Maka kami pun sepakat duduk menunggu. Lalu beliau keluar menemui kami, beliau berkata: “Apakah kalian masih di sini?” Kami menjawab: “Wahai Rasulullah, kami mengerjakan shalat Maghrib bersamamu, kemudian kami duduk menunggu di sini agar dapat mengerjakan shalat ‘Isyâ bersamamu”.

“Bagus, sungguh tepat yang kalian lakukan itu!” sahut beliau.

Kemudian beliau menengadahkan wajahnya ke langit, biasanya beliau sering menengadahkan wajah ke langit. Lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

النُّجُومُ أَمَنَةٌ لِلسَّمَاءِ فَإِذَا ذَهَبَتِ النُّجُومُ أَتَى السَّمَاءَ مَا تُوعَدُ وَأَنَا أَمَنَةٌ لِأَصْحَابِي فَإِذَا ذَهَبْتُ أَتَى أَصْحَابِي مَا يُوعَدُونَ وَأَصْحَابِي أَمَنَةٌ لِأُمَّتِي فَإِذَا ذَهَبَ أَصْحَابِي أَتَى أُمَّتِي مَا يُوعَدُونَ

Sesungguhnya bintang-bintang itu adalah pengaman bagi langit. Jika bintang-bintang itu lenyap, maka akan datang apa yang telah dijanjikan atas langit. Aku adalah pengaman bagi sahabatku, jika aku telah pergi maka akan datang apa yang telah dijanjikan atas sahabatku. Dan sahabatku adalah pengaman bagi umatku, jika sahabatku telah pergi maka akan datang apa yang telah dijanjikan atas umatku“.[4]

Anas Radhiyallahu anhu meriwayatkan, sewaktu menggali khandaq (parit pertahanan), para sahabat nabi melantunkan syair:

Kamilah yang telah membaiat Muhammad.
Untuk memegang teguh Islam selama hayat dikandung badan.
Atau mereka mengatakan: Untuk berjihad selama hayat di kandung badan.

Hammad ragu-ragu meriwayatkannya. Lantas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membalasnya dengan ucapan: Ya Allah, sesungguhnya sebaik-baik kebaikan adalah kebaikan akhirat. Ampunilah kaum Anshâr dan Muhâjirin[5].

Dalam lafazh lain disebutkan: Berkatilah kaum Anshâr dan Muhâjirin.
Dalam riwayat lain disebutkan: Berikanlah kebaikan bagi kaum Anshâr dan Muhâjirin.

Dalam riwayat lain pula disebutkan: Muliakanlah kaum Anshâr dan Muhâjirin.

Dalam riwayat Sahal bin Sa’ad, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang menemui kami, sedangkan ketika itu, kami sedang menggali parit (khandaq) dan membawa tanah dengan bahu kami sendiri, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Ya Allah! Sesungguhnya kehidupan yang hakiki ialah kehidupan akhirat. Berilah ampunan bagi kaum Muhâjirin dan Anshâr”.[6]

Coba lihat, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memohonkan ampunan, kemuliaan, kebaikan dan berkah untuk mereka. Anehnya, kemudian setelah itu muncul pula orang yang mencela para sahabat nabi, melaknat mereka, mengkafirkan mereka, menuding mereka munafik, dan banyak pelecehan lainnya.

Sifat-sifat buruk tersebut, sebenarnya lebih tepat untuk yang mencela mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih. [an-Nûr/24 ayat 63].

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memperingatkan kita agar tidak menyelisihi perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak menyimpang dari jalan beliau, manhaj, sunnah dan syariatnya. Semua perkataan dan perbuatan diukur menurut perkataan dan perbuatan Rasulullah. Baru bisa diterima bila selaras dengan perkataan dan perbuatan beliau, dan tertolak bila menyelisihinya. Seseorang yang mengucapkan perkataan dan mengerjakan perbuatan yang menyelisihi perkataan dan perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , berarti ia termasuk yang menentang Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia termasuk orang yang rendah dan terhina.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

إِنَّ الَّذِينَ يُحَادُّونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ كُبِتُوا كَمَا كُبِتَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ ۚ وَقَدْ أَنْزَلْنَا آيَاتٍ بَيِّنَاتٍ ۚ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ مُهِينٌ

Sesungguhnya orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya pasti mendapat kehinaan, sebagaimana orang-orang yang sebelum mereka telah mendapat kehinaan. Sesungguhnya Kami telah menurunkan bukti-bukti yang nyata. Dan bagi orang-orang yang kafir ada siksa yang menghinakan. [al-Mujâdilah/58 ayat 5].

Di antara bentuk penentangan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang paling keji ialah mencaci para wali-Nya. Dan wali Allah Subhanahu wa Ta’ala yang paling mulia setelah para nabi dan rasul-Nya, ialah para sahabat yang telah dipilih oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk menyertai Nabi-Nya, yaitu Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN PARA SAHABAT NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM MERAIH KEISTIMEWAAN DAN KEUTAMAAN
Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma berkata: “Janganlah kalian mencela sahabat Muhammad. Sesungguhnya, amal perbuatan salah seorang dari mereka sesaat, (itu) lebih baik daripada amal salah seseorang di antara kalian selama hidupnya”.[7]

Kesempatan dapat menyertai dan bertemu dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan anugerah yang tidak dapat tergantikan oleh apapun. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memilih di antara para hamba-Nya untuk menyertai rasul-Nya dalam menegakkan agama-Nya di muka bumi. Manusia-manusia pilihan ini, tentu memiliki kedudukan istimewa dibanding yang lain. Karena pilihan Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mungkin keliru.

‘Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu berkata: “Barang siapa di antara kalian ingin mengikuti sunnah, maka ikutilah sunnah orang-orang yang sudah wafat. Karena orang yang masih hidup, tidak ada jaminan selamat dari fitnah (kesesatan). Mereka ialah sahabat-sahabat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Mereka merupakan generasi terbaik umat ini, generasi yang paling baik hatinya, yang paling dalam ilmunya, yang tidak banyak mengada-ada, kaum yang telah dipilih Allah menjadi sahabat Nabi-Nya dalam menegakkan agama-Nya. Kenalilah keutamaan mereka, ikutilah jejak mereka, berpegang teguhlah dengan akhlak dan agama mereka semampu kalian, karena mereka merupakan generasi yang berada di atas Shirâthal- Mustaqîm.”[8]

Beliau Radhiyallahu anhu juga berkata: “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala melihat hati para hamba-Nya. Allah menemukan hati Muhammad adalah sebaik-baik hati hamba-Nya. Allah memilihnya untuk diri-Nya dan mengutusnya dengan membawa risalah-Nya. Kemudian Allah melihat hati para hamba setelah hati Muhammad. Allah mendapati hati sahabat-sahabat beliau adalah sebaik-baik hati hamba. Maka Allah mengangkat mereka sebagai wâzir (pembantu-red) Nabi-Nya, berperang demi membela agama-Nya. Maka apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin (para sahabat), pasti baik di sisi Allah. Dan apa yang dipandang buruk oleh mereka, pasti buruk di sisi-Nya”.[9]

Dari perkataan Ibnu Mas’ûd di atas, kita dapat mengetahui beberapa keistimewaan para sahabat dibandingkan kaum muslimin lainnya. Yaitu:

  • Para sahabat Nabi merupakan generasi terbaik yang ditempa langsung oleh tangan Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia.
  • Kedudukan seorang sahabat nabi sesaat bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih utama daripada amal seseorang sepanjang hayatnya.
  • Sahabat Nabi merupakan generasi yang paling bersih hatinya.
  • Sahabat Nabi merupakan generasi yang paling dalam ilmunya.
  • Sahabat Nabi merupakan generasi yang tidak suka mengada-ngadakan sesuatu dalam urusan agama.
  • Sahabat Nabi merupakan generasi yang selamat dari bid’ah.
  • Sahabat Nabi merupakan generasi yang paling baik akhlaknya.
  • Sahabat Nabi merupakan generasi yang dipilih Allah sebagai pendamping Nabi-Nya.
  • Para sahabat merupakan orang-orang yang beruntung mendapat doa langsung dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[10]
  • Sahabat Nabi sebagai pengawas dan pengaman umat ini. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya bintang-bintang itu adalah pengaman bagi langit. Jika bintang-bintang itu lenyap maka akan datang apa yang telah dijanjikan atas langit. Aku adalah pengaman bagi sahabatku, jika aku telah pergi maka akan datang apa yang telah dijanjikan atas sahabatku. Dan sahabatku adalah pengaman bagi umatku, jika sahabatku telah pergi maka akan datang apa yang telah dijanjikan atas umatku”[11].
  • Sahabat Nabi sebagai sumber rujukan saat perselisihan dan sebagai pedoman dalam memahami Al-Qur`ân dan Sunnah.

أَلَا إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ افْتَرَقُوا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ ثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَهِيَ مَا أَنَا عَلَيْهِ اليَوْمَ وَ أَصْحَابِي

Ketahuilah, sesungguhnya Ahli Kitab sebelum kalian telah terpecah-belah menjadi 72 golongan. Dan sesungguhnya umat ini juga akan terpecah menjadi 73 golongan. Tujuh 72 di antaranya masuk neraka, dan satu golongan di dalam surga, yakni golongan yang mengikuti pedoman yang aku dan para sahabatku berada di atasnya.[12]

  • Mengikuti pedoman sahabat adalah jaminan mendapatkan kemenangan.
    Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ يُبْعَثُ مِنْهُمُ الْبَعْثُ فَيَقُولُونَ انْظُرُوا هَلْ تَجِدُونَ فِيكُمْ أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيُوجَدُ الرَّجُلُ فَيُفْتَحُ لَهُمْ بِهِ ثُمَّ يُبْعَثُ الْبَعْثُ الثَّانِي فَيَقُولُونَ هَلْ فِيهِمْ مَنْ رَأَى أَصْحَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيُفْتَحُ لَهُمْ بِهِ ثُمَّ يُبْعَثُ الْبَعْثُ الثَّالِثُ فَيُقَالُ انْظُرُوا هَلْ تَرَوْنَ فِيهِمْ مَنْ رَأَى مَنْ رَأَى أَصْحَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ يَكُونُ الْبَعْثُ الرَّابِعُ فَيُقَالُ انْظُرُوا هَلْ تَرَوْنَ فِيهِمْ أَحَدًا رَأَى مَنْ رَأَى أَحَدًا رَأَى أَصْحَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيُوجَدُ الرَّجُلُ فَيُفْتَحُ لَهُمْ بِهِ

Akan datang suatu masa, yang saat itu ada satu pasukan dikirim (untuk berperang). Mereka berkata: ‘Coba lihat, adakah di antara kalian seorang sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam?’ Ternyata ada satu orang sahabat Nabi, maka karenanya Allah memenangkan mereka. Kemudian dikirim pasukan kedua. Dikatakan kepada mereka: ‘Adakah di antara mereka yang pernah melihat sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam?’ maka karenanya Allah memenangkan mereka. Lalu dikirim pasukan ketiga. Dikatakan: ‘Coba lihat, apakah ada di antara mereka yang pernah melihat seorang yang pernah melihat sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam?’ maka didapatkan satu orang, sehingga Allah memenangkan mereka. Kemudian dikirim pasukan keempat. Dikatakan: ‘Coba lihat, apakah ada di antara mereka yang pernah melihat seorang yang pernah seseorang yang melihat sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam?” maka didapatkan satu orang. Akhirnya Allah memenangkan mereka“. [13]

  • Syariat mengharamkan celaan terhadap sahabat Nabi. Siapa saja yang mencela para sahabat Nabi, maka ia berhak mendapat laknat Allah, malaikat dan seluruh manusia.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ

Janganlah mecela sahabatku! Janganlah mencela sahabatku! Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, meskipun kalian menginfaqkan emas sebesar gunung Uhud, niscaya tidak akan dapat menyamai satu mud sedekah mereka; tidak juga separuhnya.[14]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

مَنْ سَبَّ أَصْحَابِي فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ وَ المَلاَئِكَةِ وَ النَّاسِ أَجْمَعِيْنَ

Barang siapa yang mencela sahabatku, maka atasnya laknat Allah, laknat malaikat dan laknat seluruh umat manusia.[15]

  • Sahabat Nabi, mereka ialah orang-orang yang telah mendapat ridha dari Allah Subhanahu wa Ta’ala , sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan Allah menyediakan bagi mereka jannah-jannah yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar. [at-Taubah/9 ayat 100].

Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya). [al-Fath/48 ayat 18].

  • Mencintai para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti iman, dan membenci mereka berarti kemunafikan.
    Ath-Thahâwi dalam ‘Aqidah-nya mengatakan: “Kami (yakni Ahlus Sunnah wal-Jama’ah) menyintai sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Kami tidak berlebih-lebihan dalam menyintai salah seorang dari mereka. Dan kami tidak berlepas diri dari mereka. Kami membenci orang yang membenci mereka dan yang menyebut mereka dengan sebutan yang tidak baik. Kami tidak menyebut mereka kecuali dengan kebaikan. Menyintai mereka adalah ketaatan, keimanan dan kebaikan, sedangkan membenci mereka adalah kekufuran, kemunafikan dan kesesatan”.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

آيَةُ الْإِيمَانِ حُبُّ الْأَنْصَارِ، وَآيَةُ النِّفَاقِ بُغْضُ الْأَنْصَارِ

Tanda keimanan ialah mencintai kaum Anshar, dan tanda kemunafikan ialah membenci kaum Anshar.[16]

Demikian, masih banyak lagi faktor lain yang membuat mereka lebih istimewa dan lebih utama dibandingkan dengan kaum muslimin lainnya. Namun demikian, Ahlus Sunnah wal-Jama’ah juga tidak mengatakan para sahabat Nabi itu ma’shum dari kesalahan. Ahlus Sunnah wal-Jama’ah juga tidak berlebih-lebihan dalam menyikapinya sebagaimana halnya kaum Syi’ah Rafidhah yang menuhankan Ali bin Abi Thalib Rdhiyallahu anhu. Bahkan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan, ialah memuliakan mereka, menjaga hak-hak mereka, memohonkan ampunan bagi mereka, dan mengucapkan doa bagi mereka dengan kalimat “radhiyallahu ‘anhum (semoga Allah meridhai mereka semua).

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Kitab-Nya:

وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyanyang“. [al-Hasyr/59 ayat 10].

Wallahu ‘alam.

Maraji`:

  1. Al-Fâizûna bi Du’aain-Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , karya Taufiq Umar Sayyidi.
  2. Al-Fushul fi Sîratir-Rasûl, Ibnu Katsir, Takhrîj: Syaikh Sâlim bin ‘Id al-Hilâli.
  3. Al-Ibanah Lima lish-Shahabah minal-Manzilah wal-Makânah, Hamd bin ‘Abdillah bin ‘Ibrâhim al- Humaidi.
  4. Fathul-Bâri, Ibnu Hajar al-Asqalâni.
  5. Madârikun-Nazhar fis-Siyâsah Syar’iyyah, ‘Abdul Malik ar-Ramadhâni.
  6. Nawâqidhul-Imân, Dr. ‘Abdul-‘Aziz bin Muhammad bin ‘Ali ‘Abdul-Lathîf.
  7. Sirah Shahîhah, Dr. Dhiyâ’ Akram al-‘Umari.
  8. Tahdzib Bidâyah wan-Nihâyah, Muhammad bin Shamil as-Sulami.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XII/1429H/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Dinukil oleh Ibnu Abi Ya’lâ dalam ath-Thabaqât (I/243), dengan sanadnya dari Imam Ahmad. Al-Khathîb al-Baghdâdi dalam al-Kifâyah, halaman 51. Juga disebutkan oleh Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatâwâ (20/298), bahwasanya Imam Malik mengucapkan perkataan seperti itu.
[2]. HR al-Bukhâri, 3651, dan Muslim, 2533.
[3]. HR Muslim, 2536.
[4]. HR Muslim (2531), dari Abu Musâ al-Asy’ari Radhiyallahu anhu
[5]. HR al-Bukhâri (2835) dan Muslim (1805). Lafazh di atas adalah lafazh Muslim.
[6]. HR al-Bukhâri (3797) dan Muslim (1804). Lafazh di atas adalah lafazh Muslim.
[7]. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam al-Fadhâ`il, 15 dan 20. Ibnu Mâjah (162), Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah (104). Seluruhnya dari jalur ats-Tsauri dari Nusair az-Za’lûq, ia berkata: “Saya mendengar ‘Umar berkata…”. Sanadnya shahîh.
[8]. Perkataan senada juga diriwayatkan dengan penuturan di atas oleh Ibnu ‘Abdil-Bar dalam Jâmi’ al-Bayân (II/97), Abu Nu’aim dalam al-Hilyah, dari Ibnu Umar c (I/305).
[9]. HR Ahmad dan lainnya. Riwayat ini derajatnya hasan.
[10]. Silakan baca buku al-Fâizûnâ bi Du’âin-Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (Orang-orang yang beruntung mendapat doa dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam), karya Taufiq Umar as-Sayyidi.
[11]. HR Muslim dari Abu Musa al-Asy’ari Radhiyallahu anhu.
[12]. HR Abu Dawud dan lainnya dari banyak jalur dari sejumlah sahabat nabi, dan dishahîhkan oleh al-Albâni.
[13]. HR Muslim dari hadits Abu Sa’îd al-Khudri Radhiyallahu anhu.
[14]. HR Muslim (2540), dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[15]. Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam Mu’jamul-Kabi (XII/142), Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah (II/483), Abu Nu’aim dalam al-Hilyah (VII/103) dan dihasankan oleh al-Albâni dalam ash-Shahîhah (2340).
[16]. HR al-Bukhâri, dari hadits Anas bin Malik Radhiyallahu anhu.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/3448-keutamaan-sahabat-nabi.html